Terletak persis di depan makam Eyang Dalem Arief Muhammad ada bangunan kecil yang tidak begitu luas. Kami mencoba cari tahu bangunan apa sih itu sebenarnya. Eits..ada tulisan di sebelah kiri atas bangunan, ternyata eh ternyata itu adalah Museum. Di beranda nya duduk banyak mahasiswam-mahasiswa yang mendegarkan penjelasan. Kemudian para petugas menggunakan seragam. Alas kaki harus dilepas pula. Nah, MPK hanya mengutus satu orang anggota nya untuk masuk ke dalam untuk mengetahui apa sih yang ada di dalam bangunan itu.
Museum yang kecil ini ternyata berisi cerita tentang Desa Cangkuang dan Candi Cangkuang juga sedikit cerita tentang Kampung Pulo.
Memang tidak begitu banyak dokumentasi/ informasi yang tersedia di Museum ini, tapi cukup memberikan informasi. Dari info yang ada inilah kami mengetahui nama-nama kepala keluarga yang tinggal di ke enam rumah yang ada di Kampung Pulo. Akhirnya kami tahu rumah yang menjadi latar belakang kami mengambil foto adalah rumah nomor 5 rumahnya Pak Ujuh.
Walaupun ahli waris adalah anak perempuan dalam adat Kampung Pulo, tetapi tetap saja penamaan berdasarkan nama kepala keluarga (laki-laki). Jangan lupa, penduduk kampung adat Pulo memeluk agama Islam, so lebih kuat nilai Islaminya, termasuk imam rumah tangga adalah laki-laki.
Di dalam Museum terdapat naskah/ manuskrip kuno yaitu nashkah khotbah Jumat yang terbuat dari kulit kambing yang konon khubah Jumat ini adalah khutbah terpanjang di dunia (boleh percaya..boleh gak), kitab fiqih, khutbah Idul Fitri terpanjang di Indonesia, Al-Quran yang ketiganya terbuat dari kayu saih.
Naskah tersebut semuanya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno bukan dalam bahasa Sunda, kabarnya naskah-naskah tersebut ditulis Eyang Dalem saat masih berada di Mataram, karena beliau sebenarnya adalah panglima perang Mataram yang diutus untuk menyerang Batavia pada abad ke 17, namun sangat disayangkan misi Eyang dan pengikutnya gagal kala itu, dikabarkan Eyang Dalem malu dan takut untuk kembali ke Mataram maka itu memilih untuk mengasingkan diri di sebuah Desa yang saat ini kita kenal dengan Desa Cangkuang. Namun ada juga yang berpendapat bahwa naskah-naskah tersebut ditulis ketika Eyang Dalem sudah menetap di desa Cangkuang.
Keberadaan Eyang Dalem di Cangkuang selain membawa nilai Islam juga dipandang sebagai Tetua yang memberikan banyak nilai-nilai baik yang dijadikan pedoman dalam kehidupan termasuk pamali yang sampai sekarang masih dipatuhi oleh warga sekitar.
Hal-hal yang dianggap pamali itu adalah :
1. Tidak boleh memelihara binatang berkaki empat
Hal ini dikarenakan Eyang Dalem tidak suka dak suka memelihara bi-natang yang suka memakan dedaunan. Selain itu, karena dekat Kampung Pulo terdapat candi dan patung Syiwa peninggalan agama Hindu, sebagai penghormatan, tidak boleh ada binatang yang bisa mengotori tempat suci agama tersebut.
2. Tidak boleh bekerja di hari rabu
Menurut sejarahnya, putra Eyang Dalem dan beberapa masyarakat Cangkuang tewas oleh sebuah malapetaka pada hari rabu. Sehingga untuk mengenang hari itu, Eyang membangun sebuah masjid di kampung Pulo sebagai titisan putra kesayangannya itu dan hari rabu di sepi kampung Pulo biasanya lebih sepi dari biasanya, karena para penduduk lebih memilih berdiam diri di rumah dan mengaji.
3. Tidak boleh memukul gong
Larangan memukul gong atau gamelan masih berhubungan dengan anak laki-laki Eyang Dale,. Saat itu, anak lelaki kesayangannya baru dikhitan, lalu ditandu, dan diarak dengan iring-iringan orang yang membawa tetabuhan, termasuk seperangkat gamelan. Namun sayang, arak-arakan tersebut diamuk topan sehingga anaknya ini meninggal tertimpa tandu.
4. Atap rumah terbuat dari ijuk dan berbentuk prisma
Semua rumah di kawasan kampung adat memiliki bentuk atap yang sama.
0 comments:
Post a Comment