Pemberhentian terakhir kami rencanakan di Waduk Jatiluhur. Maka dari itu, kami harus kembali ke Purwakarta segera. Kami meninggalkan Wanayasa sekitar pukul 15.00 dengan menggunakan angkot, karena ELF yang kami tunggu tidak muncul batang hidungnya. Sedangkan angkot udah lebih 3 kali melewati kami. Akhirnya angkot itulah yang kami pilih untuk membawa kami ke Pasar Rebo. Tarifnya sama, Rp. 6.000, tapi yang membuat kami takjub, si sopir angkotnya hafal semua penumpang yang naik dan turun di mana mereka. Semacam langganan, padahal angkot Wanayasa ini tidak sedikit jumlahnya. Buktinya selama menunggu ELF kami dilewati tiga kali. Sangat ramah dan sangat unik, bapak ini naik dimana turun dimana, ibu ini naik dimana turun dimana, neng ini mau kemana semua dapat dihafal sama bapak tukang angkot...tepuk tangan kami pak atas keramahan dan cara bapak membawa angkot.
Angkot berhenti di Pasar Rebo sekitar pukul 15.30 dan kami disarankan si bapak untuk naik jalur 02 ke arah bunder, baru dari situ naik 09 ke Jatiluhur. Apakah bunder itu? kamipun tidak tahu, kami bilang ke tukang angkot yang waktu itu masih Aa-Aa (ga tau lagi sekarang, udah menjadi bapak-bapak kali...^^) mau ke Jatiluhur, dan dengan sendirinya Aa itu menghentikan kami pas di depan angkot 09 yang siap ke Jatiluhur. Dari 02 ke Bunder tarifnya Rp. 2.500 dan dari bunder ke Jatiluhur menggunakan 09, tarifnya Rp. 5.000.
Lumayan jauh juga dari bunder ke Jatiluhur, sekitar 30 menitan. Dan dengan harga segitu aga kurang wajar juga sebenarnya, tapi yasudahlah, kami terima saja dengan pasrah. Menjelang masuk ke wilayah Jatiluhur suasana seperti di Wanayasa, sejuk dan penuh pinus setelah berputar-putar, diturunkannya kami di depan Waterboom. Waow...ini waduk apa pantai...luas betul waduknya. Waktu itu sudah pukul 16.00 sepi, hanya ada kami, beberapa pengunjung, bapak-bapak yang menawarkan kapal wisata ke pulau ditengah-tengah sana yang tidak nampak karena kabut dan segerombolan orang yang awalnya kami pikir tentara atau kelompok yang sedang out bound (siapakah mereka? Nanti kami jelaskan).
Kami sedang bernafsu untuk menjelaskan tentang Jatiluhur ini. Kami kutip informasi ini dari blog hasyimibrahim.wordpress.com. di blog tersebut banyak menjelaskan mengenai data teknis bendungan Jatiluhur, yang kami belum melihatnya. Yang kami lihat adalah danaunya, waduknya, bukan bendungannya. Jika Situ Buleud memiliki luas 4 ha, Situ Wanayasa memiliki luas 9 ha, waduk Jatiluhur yang merupakan danau ini memiliki luas 8.300 ha (se per berapanya itu.....!!!). seperti lautan sudah memang, luas banget, mata kami tidak sampai untuk melihat ujungnya (karena kabut juga ^^). Bendungan ini dinamakan Waduk Ir. H. Djuanda yang dibangun sejak tahun 1957 oleh Kontraktor Perancis dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3/ tahun, dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Karena terletak di Kecamatan Jatiluhur, waduk ini juga biasanya dikenal dengan waduk Jatiluhur, persisnya terletak kurang lebih 9 km dari pusat kota Purwakarta. Selain menjadi waduk serbaguna pertama di Indonesia, bendungan ini juga yang terbesar di Indonesia.
Yang membuat Jatiluhur sebagai karya besar bangsa Indonesia adalah karena bendungan ini dibangun saat Indonesia baru merdeka dan belum bisa dikatakan mampu dalam segi ekonomi, namun keberadaannya sangat diharapkan, termasuk menyediakan perbekalan air untuk kapal-kapal dagang asing yang bersandar di Tanjung Priok saat itu (??? Jauh bener...). bangunan ini juga mencerminkan rasa nasionalisme tinggi para penggagasnya. Kenapa dikatakan memiliki nasionalisme tinggi, bendungan ini memiliki pompa hidrolik yang terkenal dengan paten atas nama Prof. Ir. Sediyatmo untuk saluran Tarum Barat berjumlah 17 buah, pilar pemegang pintu pengatur untuk meneruskan aliran ke daerah Walahar beserta menaranya berjumlah 8 buah, dan pembangunan pompa-pompa listrik untuk saluran Tarum Timur agar lebih efisien dan efektif dibuat miring 45 derajat. Jadilah angka keramat 17-8-45, angka kemerdekaan bangsa Indonesia...luarrrr biasaaaa...(d^^b).
Apakah harus di Jatiluhur bendungan itu di buat? Pertanyaan ini bukan pertanyaan kami, tapi pertanyaan umum yang ada di blog-blog tentang Jatiluhur, kamipun ikutan bertanya jadinya. Sebenarnya ide pembangunan waduk ini ada sejak jaman Belanda. Waktu itu Prof. Ir. WJ. Van Blommestein, selaku Kepala Perencanaan Jawatan Pengairan Belanda sudah membuat rencana pembangunan tiga waduk besar di sepanjang aliran sungai Citarum, yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Namun rencana tersebut tidak terealisasi. Pada tahun 1950, Ir. Agus Prawiranata selaku Kepala Jawatan Irigasi memikirkan pengembangan jaringan irigasi untuk mengantisipasi kecukupan beras dalam negeri, dan ide itu menjadi bahan tertawaan karena Indonesia tidak memiliki cukup uang untuk itu. Ide tersebut dibicarakan dengan Ir. Sediyatmo, selaku Kepala Direksi Konstruksi Badan Pembangkit Listrik Negara. Kemudian Ir. Sediyatmo menugaskan Ir. PK. Haryasudirja (sekarang Prof. Dr. Ir. PK. Haryasudirja) untuk merancang bendungan jatiluhur ini.
Jatiluhur dipilih karena memiliki banyak kelebihan, baik dari segi kemanan, keperluan listrik dan keperluan air lainnya. Dikatakan aman, karena pada saat pengukuran di daerah Kiara Condong, Bandung untuk rencana pembangunan bendungan di daerah paling hulu, yaitu Saguling, banyak tenaga pengukur yang tewas diserang oleh gerombolan orang tidak dikenal, begitu juga pengukuran di daerah yang lebih hilir, Cirata, hal yang sama dialami para petugas lapangan. Akhirnya Jatiluhur dipilih karena relatif aman, dan dapat dimanfaatkan untuk memberi suplai air pada bendungan Walahar yang sudah dibangun oleh Belanda untuk mengairi sawah seluas 80 ribu ha.
Haryasudirja membuat spesifikasi bendungan Jatiluhur meniru gaya bendungan terbesar di dunia, yaitu bendungan Aswan di Mesir dengan menggunakan konsultan dari Perancis yang sudah berpengalaman dalam membangun bendungan besar. Selain untuk pembangkit listrik dibangunnya Jatiluhur untuk mengairi irigasi persawahan daerah Jawa Barat seluas 240 ribu hektar. Namun kendala yang dihadapi ketika itu, harus meninggikan kembali air kucuran dari bendungan Jatiluhur bila digunakan untuk keperluan lain selain pembangkit listrik. Pasalnya Ir. P.C. Haryasudilja yang juga sebagai penentu desain dari waduk Jatiluhur, mencari tenaga yang sebesar-besarnya untuk membangkitkan turbin listrik. Listrik yang didapat memang cukup banyak, lalu bagaimana dengan air untuk pemanfaatan irigasi sawah ? Maka dibuat lagi bendung di daerah Curug. Untuk mengairi ke daerah timur terpaksa air dinaikkan dengan menggunakan pompa listrik. Namun untuk yang ke Barat, Prof.Ir. Sedyatmo telah merancang pompa yang juga menggunakan tenaga air, yang kemudian dikenal dengan nama “Pompa Sedyatmo” untuk menaikkan air ini ke saluran Tarum Barat, sepanjang 90 Km termasuk untuk air baku kota Jakarta dan sekitarnya. Integrasi. Luas daerah aliran Waduk Jatiluhur mencakup 4.500 km2. Dalam segi jaringan irigasi, tentu sangat spektakuler, membentang dari daerah Bandung sampai pantai utara pulau Jawa.
Di tepi Jatiluhur |
Selain berfungsi sebagai PLTA, dengan sistem limpasan terbesar di dunia, kawasan Jatiluhur memiliki banyak fasilitas rekreasi seperti hotel dan bungalow, bar dan restoran, lapangan tenis, bilyar, perkemahan, kolam renang, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air dan fasilitas lainnya. Di dalam waduk ini juga terdapat budidaya ikan keramba jaring apung, yang memungkinkan kita untuk memancing di waktu siang maupun malam. Selain itu, dikawasan ini terdapat Stasiun Satelit Bumi yang dikelola PT. Indosat sebagai alat komunikasi internasional. Pokoknya lengkap, termasuk pusat Training Center atlit nasional dayung dan dragon boat Indonesia. Kok tau?? Nah, para gerombolan yang kami pikir tentara tadi adalah para atlit ini, dengan badan yang super tegap (karena kebanyakan dayung) mereka melakukan pemusaatan latihan di sini. Dan hasilnya apa? 3 medali emas di Asian Games mereka raih...tepuk tangaaaan...^^
Awalnya cukup tenang disini, kami bisa duduk-duduk santai di tepi dermaga sambil melihat riak-riak air ke tepian, sampai akhirnya serombongan orang yang ternyata atlit nasional membawa perlengkapan mereka masing-masing. Ketenangan kami terusik, dan karena sudah waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 maka saatnya kami berpisah...mungkin kalau kesininya aga siangan kondisinya akan lebih ramai, tapi beruntung kami kesana sorean, jadi sangat tepat untuk berkontemplasi...^^
0 comments:
Post a Comment