Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Yogyakarta

Catatan Perjalanan 08 – 10 Agustus 2009
Ada sedikit perubahan jadwal yang kami lakukan waktu itu, awalnya jadwal kami adalah Cianjur, kota beras yang terletak sebagai penghubung Bandung dengan Bogor. Namun, karena satu dan lain hal, perjalanana kami ubah ke Yogyakarta. Sedikit melenceng dari rute Anyer – Panarukan sebetulnya, tapi Yogyakarta tidak pernah habis untuk diceritakan, dan kami ingin membagi salah satu cerita itu pada kawan-kawan semua. Kami melakukan perjalanan panjang dan cukup menantang di Yogyakarta ini, berangkat dari Bandung tanggal 08 Agustus, nyampe di Yogya tanggal 09 Agustus dan tanggal 10 Agustus sudah berada di Bandung lagi. Saran kami kawan-kawan semua, kalau ke Yogya menginaplah, biar puas dan semua terjalani secara utuh, berhubung kami ada yang berhalangan waktunya kalau pake acara menginap, maka kamipun merencanakan perjalanan itu selengkap mungkin dalam waktu hanya 15 jam di Yogya. Bisakah? Ikuti catatan perjalanan kami…


Beginilah kira-kira catatan perjalanan ini kami susun,
Sejarah Yogyakarta
Rute Perjalanan
Benteng Vreiderburg
Kraton Yogyakarta
Taman Sari
Kampus UGM Bulak Sumur
Prambanan
Malioboro
Perjalanan Pulang


Sejarah Yogyakarta
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755 bersamaan dengan dibangunnya kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Berdirinya kerajaan Ngayogyakarta tidak lepas dari era keruntuhan Majapahit dengan munculnya kesultanan-kesultanan Islam seperti Demak, Pajang dan Mataram. Kemenangan Pangeran Hadiwijaya melawan Arya Penangsang menandai berdirinya kerajaan Pajang yang mewarisi kejayaan Demak dengan wilayah kekuasaan Demak, Mataram, Tegal, Kedu, Banyumas, Madiun, Kediri, Tuban dan Surabaya. Mataram dipegang (pegang, dikuasailah secara kasarnya) oleh Ki Ageng Pemanahan, sebagai hadiah dari Sultan Hadiwijaya karena telah membantu mengalahkan Arya Penangsang. Selanjutnya Mataram di wariskan ke putra Ki Ageng Pemanahan, yaitu Danang Sutawijaya atau yang dikenal dengan Raden Ngabehi Loring Pasar yang kemudian bergelar Panembahan Senopati. Karena kekuasaannya yang luas, Panembahan Senopati berhasil mengalahkan Pajang (yang awalnya merupakan kerajaan sedangkan Mataram hanya kadipaten, akhirnya Mataram berhasil menguasai Pajang, Pajangpun runtuh). Pusaka-pusaka kerajaan Pajang di transfer ke Mataram. Akhirnya secara resmi berdirilah Kerajaan Mataram.
Mataram mencapai puncak kejayaan pada era Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pusat pemerintahan yang semula di Kerto dipindah ke Pleret, tidak jauh dari Kotagede. Pada era ini kekuasaan sudah menguasai seluruh Jawa ditambah dengan Kalimantan, penghalang utamanya adalah VOC yang berkuasa di Batavia. Sultan Agung berusaha mengusir VOC dari Batavia pada tahun 1628 dan 1629 namun gagal. Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, Mataram menjadi lemah, dan para penggantinya pada umumnya bersekutu dengan VOC.
Pada masa Sunan Amangkurat II (cucunya Sultan Agung), perseteruan antara Sunan Mas dengan Pangeran Puger untuk memperebutkan kekuasaan tidak terelakkan, sampai akhirnya pecah, Sunan Mas bergelar Sunan Amangkurat III sedangkan Pangeran Puger menyebut dirinya sebagai Sunan Paku Buwono I. Perseteruan semakin gawat ketika Paku Buwono III diangkat oleh VOC sebagai penguasa Mataram, hal ini menyebabkan Pangeran Mangkubumi (saudara Sunan Paku Buwono II) merasa tidak rela dengan campur tangan VOC terhadap Mataram. Pangeran Mangkubumi dibantu oleh Raden Mas Said (Adipati Mangkunegoro) melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pertikaian ini diakhiri dengan penandatanganan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang isinya membagi Mataram menjadi dua, sebagian menjadi milik Surakarta Hadiningrat yang berpusat di Kartasura dan diperintah oleh Sunan Paku Buwono III, dan sebagian menjadi milik Pangeran Mangkubumi, sedangkan Raden Mas Said diakui sebagai Pangeran yang berkuasa di Mangkunegaran dengan gelar Pangeran Aryo Adipati Mangkunegoro. Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Adul Rachman Sayidin Panata Gama Khalifatulah I (busyeeet panjang amat) atau biasa kita kenal dengan Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Nama Ngayogyakarta ditafsirkan dari kata “Ayuda” dan kata “Karta”. Kata “a” berarti tidak dan “yuda” berarti perang. Jadi “Ayuda” mengandung pengertian tidak ada perang atau damai. Sedangkan “Karta” berarti aman dan tentram. Jadi Ngayogyakarta dapat diartikan sebagai “ Kota yang aman dan tenteram”. Sejak saat itu lahirlah kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat yang pusatnya di Yogyakarta sebagaimana kita kenal sekarang. (jreng jreng jreng)…FYI, palingan juga kawan-kawan sudah paham semuanya, saat ini Yogyakarta adalah Daerah Istimewa dipimpin oleh Gubernur sekaligus Raja Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengku Buwono X.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat