Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Tugu Yogya

Inilah kawan salah satu icon Yogya yang lain. Tugu Yogyakarta, sebagai jujugan para fotografer juga, apalagi kalau pas weekend atau malam hari, puluhan lensa kamera tertuju pada model yang anggun ini, Tugu Yogya atau orang Yogya menyebutnya sebagai Tugu Pal Putih (De Witt Paal). Tugu ini telah mengalami perubahan bentuk dari kali pertama di buat antara tahun 1756 - 1757. Tugu ini diprakarsai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I yang mempunyai nilai simbolis dan merupakan garis yang bersifat magis menghubungkan Laut Selatan (Samudera Hindia), Kraton Yogyakarta dan Gunung Merapi. Ketiga lokasi tersebut berada dalam satu garis lurus, tugu ini dipakai sebagai patokan Sultan menghadap ke arah Gunung Merapi.


Pada awal berdirinya, antara tahun 1756 – 1757, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan (walaupun ternyata Kesultanan justru banyak berkompromi dengan Belanda pada waktu itu). Semangat persatuan itu disebut juga golong gilig (dalam bahasa Jawa berarti bersatu padu), oleh karena itu tugu ini pada awalnya berbentuk gilig (silinder) pada bagian tiangnya dan puncaknya berbentuk golong (bulat). Tugu ini kemudian disebut juga sebagai Tugu Golong Gilig. Tugu ini memiliki tinggi kurang lebih 25 m, dengan bentuk silinder mengerucut ke atas, dengan bagian puncaknya berbentuk bulat serta bentuk lingkaran pada bagian dasarnya. Kami mendapatkan gambar awal tugu Golong Gilig ini dari situs www.yogyes.com dan akan kami tempelkan dalam catatan perjalanan ini untuk kawan-kawan semuanya. Mohon ijin bos pada sang pemilik gambar…^^
Seperti halnya nasib bangunan yang seusia dengan Tugu ini, tugu inipun tidak luput dari bencana gempa Yogya tahun 1867, tugu inipun tumbang. Belanda merenovasi dan merombak total Tugu tersebut pada tahun 1889. Bentuknya yang semula Golong Gilig, diubah menjadi bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi tersebut. Bagian puncak tugu ini tidak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Tinggi bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter (10 meter lebih rendah dari Golong Gilig). Tugu ini di cat dengan warna putih, sehingga Belanda menyebutnya dengan nama De Witt Paal dan penduduk setempat menyebutnya sebagai Tugu Pal Putih.

Kami turun di Shelter dekat tugu itu kurang lebih pukul 19.00, jeprat-jepret sebentar di tugu itu, untungnya belum banyak fotografer di situ sehingga kami bisa ketemu spot yang bagus dan beraksi tak tau malu di tugu itu. Tugu ini tepat berada di tengah-tengah simpang jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan AM. Sangaji dan Jalan Diponegoro. Dipojokan Jalan Pangeran Mangkubumi disediakan beberapa kursi yang ditujukan untuk mengagumi bangunan ini. Tegak berdiri dari tahun 1889 menjadi saksi bisu atas segala kejadian dan perubahan Yogya. Kami duduk sebentar di situ, ada yang sibuk photo-photo, dan ada yang tidur juga (!!???, wajarlah, kami diuber waktu dan bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain). Pukul 19.30 kami beranjak dari Tugu dan melangkah menuju tujuan terakhir, Malioboro dan kantor Gubernur yang juga berada di Jalan Malioboro.

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat