Dari kraton sekitar 400 m ke arah pasar burung, atau sekitar 10 menit dari Kraton. Kawan-kawan bisa naik becak, Rp. 10.000 an langsung ke sasaran, tapi seperti biasa, kami memilih berjalan kaki, dan tersesat, hehehe…^^mengapa tersesat, Taman Sari berada di dalam perkampungan warga dan setelah masuk ke dalam kompleksnya pun kami masih tersesat, hehe…^^
Tiket masuknya Rp. 3.000 dan biaya kamera (lagi-lagi, kecuali kamera handphone bebas biaya, saran kami, pake kamera handphone yang 8 MP kawan, hehehe, sama dengan pocket digital camera..^^) Rp. 1.000. Setelah masuk kompleks taman sari, pada umumnya kita akan ditawari oleh warga setempat untuk menggunakan jasa mereka dalam menuntun kita ke kompleks Taman Sari, biaya guide nya Rp. 20.000 atau terserah sukarela kawan-kawan sekalian lah. Tips dari kami, kalau kita rombongan kecil, tunggu aja ada rombongan lain yang sudah pake guide, nah kita ngikutin di belakangnya, hehe…murah meriah dan halal kok…^^, tapi kemaren kami gagal memanfaatkan itu karena kebetulan kita tersesat terlebih dahulu dan tidak ketemu rombongan lain..T_T
Taman Sari ini sebetulnya kompleks taman (dikatakan kompleks karena terdiri dari taman-taman dan disebut juga sebagai istana air, water castle) yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I dan dipergunakan sebagai taman rekreasi sultan dan keluarganya sampai pada masa Sultan Hamengku Buwono III. Bangunan ini terbuat dari batu, dibuat antara tahun 1761 – 1765. Kompleks ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu Bagian Sakral, Bagian Kolam Pemandian dan Pulau Kenanga.
Bagian sakral merupakan bagian yang menyendiri dan khusus dipergunakan untuk pertapaan Sultan dan keluarganya (terus terang kami kurang tau yang mana si bagian ini…maap-maap ^^), nah kalau bagian kolam pemandian kayaknya kami tau dimana itu. Ada cerita yang entah benar enggaknya, tutur tinular dari kawan-kawan yang pernah menggunakan guide di sini. Begini ceritanya, Di dalam kompleks Taman Sari ini, konon katanya, dulu, pada tanggal-tanggal tertentu, Sultan akan memilih selir-selirnya untuk “menemani” malamnya di Taman Sari ini. Konon, para selir akan mandi di kolam itu, dan Sultan melihat dari lantai atas, dari situ Sultan melemparkan bunga melati atau bunga apa ke selir yang dimaksud, dan selamat bagi selir yang menerima bunga itu, karena dialah sang terpilih untuk menemani Sultan dalam periode ini, hihihi…seperti halnya budaya di Kekaisaran Cina, selir tidak boleh yang itu-ituuuu aja, tapi harus bervariasi untuk mendapatkan keturunan yang bervariasi pula…^^
Kami lanjutkan ceritanya, setelah selir terpilih maka selir tersebut di bawa ke lantai atas tempat sultan berada untuk melakukan ritual-ritual khusus terlebih dahulu sebelum mengarungi malam…^^, tempat itu sampai sekarang masih dianggap sakral, terbukti dengan masih adanya bunga-bunga dan dupa atau kemenyan yang masih ada di situ. Memang si, di beberapa tempat yang dianggap memiliki riwayat sakral sampai sekarang masih sering ada tradisi-tradisi semacam sesaji yang dikenal pada era animisme dinamisme, namun itulah budaya, ntah tujuannya untuk apa, hanya mereka yang tahu. Budaya sesaji ini tentunya sisa-sisa era Hindu dan Budha yang sempat menguasai Jawa serta diakulturasi sebagai bagian dari adat istiadat dalam menghormati leluhur. Memang kalau dilihat-lihat, budaya Jawa sangat erat kaitannya dengan ritual-ritual Hindu dan Budha, bahkan tidak dipungkiri, budaya dan ritual Hindu dan Budha tersebut terakulturasi dalam Islam Jawa.
Kompleks yang lain selain bagian sakral dan kolam pemandian adalah pulau kenanga. Kompleks ini kalau tidak salah dapat terlihat dari pasar burung Ngasem, yang kalau dari kejauhan mirip puing Coloseum Roma (bagian ini disebut dengan Pulau Cemeti), sayangnya waktu kami berkunjung ke sana sedang dalam proses renovasi sehingga tidak bisa naik sampai ke atas. (kalau bener bagian yang kami maksud lo ya…^^). Pulau Kenanga atau Pulau Cemeti adalah sebuah bangunan tinggi yang berfungsi sebagai tempat beristirahat, sekaligus sebagai tempat pengintaian. Bangunan inilah satu-satunya yang akan kelihatan apabila kanal air terbuka dan air mengenangi kawasan Pulau Kenanga ini. Disebutkan bahwa jika dilihat dari atas, bangunan seolah-olah sebuah bunga teratai di tengah kolam sangat besar.
Bagian lain dalam kompleks Pulau Kenanga ini adalah lorong-lorong bawah tanah. Orang sekarang mungkin bilangnya bunker sebagai jalur untuk melarikan diri ketika diserang oleh musuh, konon gosipnya, lorong tersebut sampai di pantai Parang Tritis di Samudera Hindia sana (wew…!!). Lorong-lorong itu masih ada sampai sekarang, dan menjadi tempat favorit untuk foto-foto, khususnya foto Prewed (cuit-cuit yang mau nikah…^^). Namun sebagian sudah runtuh dan tidak bisa ditelusuri jejaknya sampai kemana lorongnya. Lorong itu tidak segelap yang kita bayangkan karena berada di dalam tanah, banyak cahaya yang masuk di situ, sehingga suasana tidak seseram yang dibayangkan. Salah satu lorongnya juga menuju ke Sumur Gemuling. Seni arsitek yang sangat unik, berbentuk lingkaran seperti sumur di dalamnya, dulu dipakai untuk sholat lima waktu. Kalau sekarang tidak memungkinkan kayaknya, karena banyak pengunjung dan ga konsentrasi kalau Sholat disini, karena terkadang aura mistis masih tetap terasa.
Ooops, jam menunjukkan pukul 11.00, jadwal kami mengharuskan untuk segera meninggalkan Taman Sari dan menuju ke pemberhentian selanjutnya, kampus UGM. Ada apa dengan kampus UGM? Kebetulan salah satu anggota kami ada yang gila dengan kampus, maksudnya ketika berkunjung ke suatu tempat dan ada kampus yang memiliki nama besar sepert UGM, haram hukumnya untuk tidak dikunjungi, setidaknya kalau ada kawan yang bertanya pernah ke UGM? Jawabannya, “bukan hanya pernah, bahkan aku pernah buang air di salah satu toiletnya”….hahaha…nah demi memuaskan hasratnya itulah, maka kami sempat tidak sempat harus ke UGM. Untuk menuju UGM, kami harus ke shelter Trans Yogya lagi yang akan membawa kami ke UGM Bulak Sumur. Bagaimana caranya ke shelter itu, dan dimanakah tempatnya? Hmmm, satu-satunya tempat yang kami ingat adalah malioboro II tempat kami turun waktu ke Vredeburg. Kalau jalan bisa sebetulnya, tapi kami kawatir waktunya banyak kemakan dengan jalan kaki, akhirnya kami putuskan untuk naik becak ke Kantor pos besar, ternyata nama shelternya adalah kantor pos besar. Tarifnya Rp. 10.000, dan kami nyampe di Shelter kurang lebih pukul 11.30.
0 comments:
Post a Comment