Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Benteng Vredeburg dan Gedung Agung




Seandainya kawan-kawan turun di Stasiun Tugu, akan sangat mudah ke benteng Vredeburg, cukup keluar stasion dan jalan luruuuuuuuuuuus aja mengikuti jalan Malioboro atau mau naik andong, becak ataupun Trans Yogya. Jaraknya lumayan kalau dari Tugu, kurang lebih 1 km lah, kalau dari Lempuyangan kurang lebih 2 km dan muter-muter jalannya. Kami dari Lempuyangan berjalan bersama-sama ke arah stasiun tugu, sebetulnya ada bus kota ke arah tugu, tapi kami lebih memilih jalan kaki (tepatnya ga tau kalau ternyata bus kota itu ke arah malioboro, hohoho
^^). 



 Rutenya gini kalau dari Lempuyangan, keluar stasiun (ga usah lewat pintu keluar, tapi ikutin rel kereta yang ke arah surabaya, jangan ke arah kedatangan kereta tadi), setelah keluar ada jalan raya kita ke kanan, trus ikutin aja jalan itu, ada pertigaan kita belok kiri (di sinilah kami bilang ada bus kota berwarna coklat yang akan membawa kita ke Malioboro, tapi kami kurang tahu bus kota jalur berapa dan jurusan ke mana itu, yang jelas abang kondekturnya pasti tereak-tereak, “malioboro-malioboro”…^^), kalau masih berjalan bersama kami, setelah belok kiri tadi kita luruuuuuus aja ikuti jalan sampai pada suatu ketika disebelah kanan kita adalah stasiun tugu dan sebelah kiri kita ke arah malioboro. Sampai di shelter Trans Yogya pukul 07.00 WIB.
Kami akan bercerita tentang Trans Yogya, kami merencanakan perjalanan ke Yogya dibantu oleh situs ini, www.transjogja.net, dari situ kami mengetahui rute-rute Trans Yogya. Ada beberapa jalur sebetulnya, tapi tak usah kawatir tersesat, karena kita bisa nanya ke mbak-mbak nya yang jual tiket Trans Yogya itu, tiketnya Rp. 3.000 an dan bisa ke semua jurusan (cukup sekali bayar). Mbak-mbaknya baik-baik, ko, nanti akan kami ceritakan baiknya mas-mas dan mbak-mbak itu. Shelter Malioboro itu akan membawa kita ke Vredeburg, jalurnya kalau ga salah apa saja (ikuti petunjuk mbaknya, bisa jalur 1A, bisa 2A). Setelah naik, pramugari atau pramugaranya akan memberitahukan pemberhentian selanjutnya dengan bunyi kurang lebih sebagai berikut, ehm ehm “Berikut ini adalah shelter Malioboro II, Benteng Vredeburg, Alun-alun, Pos Besar, Kraton, bagi yang ingin melanjutkan perjalanan ke Prambanan, bla-bla-bla silahkan turun dan melanjutkan dengan menggunakan Jalur 1A, bagi yang ga pengen turun ga usah…” (hehe…yang ini kami tambahin sendiri…^^). Kalau kita bingung tanya aja ke pramugarinya, nantinya kita akan dicatetin di kertas tujuan berikutnya… (baik kan…dan tak perlu bayar lagi yang jelas…^^).
Kami nyampe di Vredeburg pukul 07.10, masih sepi, belum buka soalnya, tapi waktu itu kami diijinkan masuk kok (kesian paling…hehe) tiket masuknya Cuma Rp. 1.000, bagi kawan-kawan yang bawa kamera (digital atau prosumer kena charge Rp.1.000 kalau ga salah, lupa lagi, tapi kalau DSLR kena lebih mahal, Rp.5.000 atau Rp.10.000 lupa…maap-maap ^^). Museum ini di buka mulai pukul 08.00 – 13.00 WIB setiap hari, kecuali hari Senin dan Libur Nasional.
Berbicara tentang Benteng Vredeburg sama halnya kita berbicara tentang sejarah lahirnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Mengapa demikian? Begini ceritanya. Ehm..ehm… Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang telah melahirkan Kerajaan Ngayogyakarta dan menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai Raja Ngayogyakarta, secara cepat memerintahkan untuk membangun sebuah pusat kerajaan berupa Keraton di dusun Pacethokan dengan jalan membabat hutan Beringan. Pembangunan keraton yang cepat (start 9 Oktober 1755 dan finish 7 Oktober 1756) serta infrastruktur penunjang lainnya yang sudah berdiri sekitar tahun 1756 – 1757 membawa kekhawatiran terhadap pihak Belanda sendiri, sampai akhirnya pihak Belanda mengusulkan agar Sultan membangun sebuah benteng untuk pertahanan. Sebetulnya, niat Belanda mengusulkan untuk membuat benteng adalah untuk memudahkan mengontrol setiap kegiatan dalam Kraton (dasar licik memang kompeni-kompeni itu…), saran tersebut disetujui oleh Sultan. Pembangunan benteng dimulai tahun 1760 berbentuk bujur sangkar dan sangat sederhana, tahun 1765, sekali lagi Belanda mengusulkan agar dibuat benteng yang agak bagusan dikit kek, pake semen kek dan lain sebagainya agar lebih kuat. Dan untuk kali kesekian, usulan tersebut dikabulkan, dan renovasi benteng baru dimulai tahun 1767 dan selesai tahun 1787 (busyeeet, 20 tahun bangun benteng, kontraktornya harus dipertanyakan tuh…hehe ^^). Benteng itu kemudian diberi nama RUSTENBURG yang berarti Benteng Peristirahatan.
Pada tahun 1867 (100 tahun sejak didirikan pertama kali), Yogya diguncang gempa hebat yang merobohkan beberapa bangunan, termasuk diantaranya adalah Benteng Rustenburg ini (ga roboh ding, Cuma cacat aja dikit plus lecet-lecet, ^^). Dalam waktu sesingkat-singkatnya, benteng ini di renovasi kembali dan kemudian diganti namanya menjadi, Benteng Vredeburg yang berarti Benteng Perdamaian, sebagai wujud hubungan perdamaian antara Belanda dengan Kerajaan Ngayogyakarta.
Pada jaman perang kemerdekaan, Benteng Vredeburg ini pernah menjadi markas tentara Jepang dan tempat tawanan tentara Belanda dan pejuang Republik yang menentang Jepang tahun 1942 sampai 1945. Pada masa agresi militer Belanda, benteng ini juga pernah menjadi markas militer Republik Indonesia yang berhasil direbut dan dijadikan markas tentara Belanda tahun 1948. Vredeburg juga pernah dipakai sebagai tempat tahanan politik pada masa G 30 S/ PKI tahun 1965. Setelah perjalanan panjang yang penuh dengan catatan sejarah, berdasarkan Ketetapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 0224/U/1981 tanggal 15 Juli 1981, Benteng Vredeburg ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (horeeee…), dan dipertegas lagi pada tahun 1984, bahwa benteng ini akan dijadikan Museum Perjuangan Nasional sampai akhirnya dibuka untuk umum tahun 1987 (200 tahun sejak didirikan pertama kali..wew…!!).
Sekarang membahas tentang isinya. Museum ini memiliki koleksi antara lain bangunan-bangunan kuno yang sudah dipugar sesuai dengan bentuk aslinya, diorama-diorama yang menggambarkan perjuangan sebelum Proklamasi Kemerdekaan sampai dengan masa Orde Baru, koleksi benda-benda bersejarah, foto-foto dan lukisan-lukisan tentang perjuangan kemerdekaan.
Gedung Agung
Kami berjalan dikejar waktu sesuai dengan jadwal yang ditetapkan, tepat di depan Vredeburg ada satu bangunan bersejarah lainnya, Istana Presiden atau disebut dengan Gedung Agung. Sayangnya, masyarakat jelata seperti kami tidak diperkenankan masuk untuk melihat-lihat hunian Presiden Republik ini, kami hanya bisa melihat dari jauh saja. Itupun jauuuuuuuuuuh banget, di luar gerbang..T_T.

Gedung Agung ini dibangun pada Mei 1824 yang diprakarsai oleh Anthony Hendriks Smissaerat, Residan Yogyakarta ke-18 (1823 – 1825) yang menghendaki adanya istana yang bagi residen-residen Belanda. Pembangunan gedung ini sempat tertunda sejak adanya Perang Diponegoro sampai akhirnya pembangunan gedung tersebut selesai pada tahun 1832. Gedung ini juga menjadi salah satu korban bencana gempa tahun 1867 dan direnovasi sampai akhirnya selesai tahun 1869. Ketika Ibukota negara dipindah ke Yogyakarta tahun 1946, Gedung Agung ini menjadi Istana Negara yang ditempati oleh Presiden dan keluarganya sampai adanya Agresi Militer Belanda tahun 1948, dan baru tahun 1949 dipergunakan kembali sebagai Istana Negara. Sejak 28 Desember 1949, ketika ibukota dipindah lagi ke Jakarta, Gedung Agung tidak lagi dipakai sebagai kediaman sehari-hari Presiden. Hanya saja, ketika Presiden berkunjung ke Yogyakarta, Gedung Agung berfungsi kembali menjadi Istana Presiden sebagaimana istana-istana Presiden lainnya.
Gedung BI Yogyakarta

Dari Vredeburg ke kiri kita ketemu perempatan, kalau ke kiri ada spot fotografi lainnya, yaitu gedung Bank Indonesia Yogyakarta. Kantor ini adalah Kantor De Javasche Bank (DJB) ke delapan setelah Semarang, Surabaya, Padang, Makassar, Cirebon, Surakarta dan Pasuruan yang di buka pada tanggal 1 April 1979. Kantor ini dibukan selain atas dorongan berbagai pihak yang mempunyai kepentingan usaha di daerah ini, juga disebabkan cerahnya iklim perdagangan di Yogyakarta. Gedung ini selesai dibangun tanggal 15 Februari 1915. Di sekitar lokasi itu juga terdapat Kantor Pos Besar, gedung BNI yang semuanya berarsitektur kolonial dan mirip-mirip. Tapi Heritage itu sangat sayang kalau tidak dirawat dan dilestarikan, tapi di Yogya, semuaaaaaa terawat dengan baik. Kota-kota lainnya di Indonesia, Jawa khususny seperti Jakarta dan Semarang malah telah mengkhususkan wilayahnya sebagai wisata kota lama. Surabaya sebentar lagi mengikuti dengan diterbitkannya SK Walikota tentang Bangunan Cagar Budaya di wilayah Surabaya Utara untuk dijadikan wisata kota lama seperti Jakarta dan Semarang. Bandung telah memiliki wilayah kota lama di daerah Braga, Cirebon pun punya di daerah Pasuketan dan sekitaranya. Bagaimana dengan kota-kota lainnya? Bukan berarti melestarikan peninggalan kolonial ya, tapi itu merupakan bagian dari proses pembangunan dan peradaban di Indonesia, maka ga ada salahnya kan kalau dilestarikan….salam-salam ^^

0 comments:

Post a Comment

Indonesia Barat