Sugeng Rawuh | Wilujeng Sumping | Selamet Dheteng | Rahajeng Rauh | Salamaik Datang | Horas | Mejuah-Juah | Nakavamo | Slamate Iyoma| Slamate Illai | Pulih Rawuh | Maimo Lubat |

Purwakarta

Catatan Perjalanan 05 Oktober 2010

Perjalanan kami berbelok kawan, sedikit keluar jalur Anyer-Panarukan, beruntung blog kami memiliki satu halaman khusus “Seputar Jawa”, jadi jelas sudah fungsinya, yaitu untuk menampung tulisan kami mengenai catatan perjalanan di luar Anyer-Panarukan. Setelah Yogyakarta, kami melaporkan perjalanan kami ke Purwakarta. Banyak kota, tetapi kenapa Purwakarta? Pertanyaan yang bagus, dan ijinkan kami menjawabnya, Purwakarta memiliki satu ikon yang terkenal se Jawa Barat, bahkan mungkin terkenal se Indonesia Raya, yaitu Waduk Jatiluhur. Malulah kiranya, kalau sekian lama kami di Jawa Barat, tetapi belum pernah tau sama sekali seperti apa Jatiluhur itu, oleh karena itu, pas kiranya kalau kami berbelok ke Purwakarta, sebentar saja, karena lokasinya tidak jauh juga dari Bandung.

Sejarah Purwakarta

Lambang Purwakarta
Kabupaten Purwakarta bukan sebuah kabupaten yang kacangan atau tidak memiliki nilai historis kawan, intinya tidak salah kami membelokkan arah ke sini. Secara administratif pemerintahan, Kabupaten Purwakarta merupakan pemisahan dari Kabupaen Karawang, tapi secara historis Kabupaten Purwakarta berhubungan erat dengan Kesultanan Mataram di Yogyakarta sana (lah, jauh bangeet). Siap mendengarkan ceritanya? Siapkan cemilan dan minuman ringan, eyang MPK akan mulai bercerita..^^

Rute Perjalanan

Gerbang Selamat Datang
Kami berangkat ke Leuwi Panjang terlambat sekitar satu jam, yang semestinya pukul 6 jadi pukul 7. Perjalanan ke Leuwi Panjang seperti biasa ditempuh dengan DAMRI yang tarifnya Rp. 2000 itu, naiklah yang jurusan ke Leuwi Panjang, jangan ke Jatinangor, tapi kalau mau ke Jatinangor juga gapapa, tapi ga usah kalian ikuti kami yang mau ke Purwakarta ini :). Sampai di Leuwi Panjang sekitar pukul 8, dan untuk informasi kawan-kawan. Carilah bus yang ke arah Bogor atau Depok tapi yang lewat Ciganea karena terminal Purwakarta itu Ciganea, kalau tidak lewat situ, maka kalian akan terbawa ke Bogor, Depok atau bahkan Kampung Rambutan...serius, perhatikan baik-baik langkah anda biar tidak menyesal kemudian ^^.

Situ Buleud

Situ Buleud
Karena kami memutuskan untuk ke kota-kota dulu, maka kami naik angkot berwarna merah jalur 04 jurusan Ciganea-Simpang. Dari pemberhentian bus di Ciganea (pintu tol Purbaleunyi) tadi, kalau bus turun ke bawah, kawan-kawan naik ke atas, jalur yang di atas maksudnya. Pintu tol Purbaleunyi ini semacam terminal bayangan juga, banyak bus dan angkot yang ngetem di situ. Naiklah angkot 04 itu yang ke arah sana (sana mana??) ya pokoknya yang tidak ke arah tol lah. Di turunan bus Ciganea tersebut ada gerbang masuk Kabupaten Purwakarta, waktu itu sedang direnovasi (atau sedang dibangun tidak tau pasti), nah kalau kita melewati bawah gerbang itu, itu yang kami maksud ke bawah tadi, sedangkan yang ke atas tidak melewati gerbang tersebut, tetapi justru di samping gerbang dan posisinya di atas gerbang tersebut (kebayang ga??).

Kantor BAKORWIL dan Pendopo Kabupaten Purwakarta

Pintu Masuk Bakorwil
Sekalian mengelilingi Situ Buleud kami sempatkan ambil beberapa gambar di BAKORWIL a.k.a eks. Gedung Karesidenan Purwakarta. Kompleks penataan Kantor Bakorwil ini sangat klasik sekali, gedung berada di tengah sedangkan jalan untuk memasuki halaman kantor ini berada di samping kiri dan kanan yang kalau di lihat dari atas akan terlihat simetris. Di samping kiri dan kanan gedung tersebut juga ditanami pohon-pohon tinggi dan tua yang mungkin usianya hampir sama dengan usia bangunan tersebut. We like it. (d^^b)..

Situ Wanayasa

Dari arah taman tersebut kami ke kanan luruuus lagi, ketemu dengan pertigaan, kami belok kanan untuk ketemu dengan perempatan awal kami masuk ke komplek Pendopo yang ada pos SATPOL PP nya. Dari perempatan tersebut kami belok kiri ke arah Situ Buleud dan kembali mengitari situ tersebut dari arah kiri. Jadi ketemu situ kami ke kiri mengitari situ sampai ketemu dengan jalan yang berada di samping kiri gedung BAKORWIL (tweweweng lieur eh...^^). Nah, akan kami ceritakan sebuah rahasia, rahasia tentang percakapan dengan ade-ade SMP tadi, hihihihi^^.

Kata ade-ade yang kami temui pada bagian Situ Buleud tadi, kalau mau ke Wanayasa harus ke Pasar Rebo dulu. Dari Buleud (arah datangnya angkot 04 tadi) jalan belok kanan luruuuus aja, sekitar 500 m an, ada pertigaan belok kiri udah masuk wilayah Pasar Rebo. Dari situ ada dua opsi kalau mau ke Wanayasa. Pertama, naik ELF (yang gede tea), dan yang kedua naik angkot jurusan Wanayasa (angkotnya warnanya kuning). Tarifnya, kalau ELF, Rp. 6.000, sedangkan kalau angkot, sama juga (hahaha, trus apa bedanya??). Pertanyaan bagus, saking bagusnya, kami tidak tau jawabannya...^^. Jawabannya kami awali dengan mungkin, karena kami simpulkan dari pengalaman yang kami alami sendiri. Pertama, ELF ga akan mau berangkat kalau tidak full, kami terjebak di dalam ELF hampir setengah jam, dengan keringat bercucuran, sedangkan angkot lempeng aja tanpa ada beban n ga terlalu lama ngetemnya. Kedua, segitu ELF penuh, dia akan meluncur dengan full speed, sedangkan angkot penuh ga penuh tetap slow aja jalannya, biar lambat asal slamat kayaknya motonya...Ketiga, mereka beda jalur tapi bertujuan sama, karena pas baliknya kami naik angkot, tidak berpapasan sama sekali dengan ELF, dan jalurnya sepertinya berbeda dengan yang kami lalui waktu berangkat..mungkin itu bedanya...^^
 
Situ Wanayasa
Waktu berangkat kami menjatuhkan pilihan ke ELF, karena kami pikir lebih cepat dari angkot. Kami masuk ELF sekira pukul 12.30, dan ELF bersedia berangkat sekira pukul 1 lebih dikit, dan wuz-wuz-wuz, dengan  kecepatan penuh, kurang lebih 45 menit kami sampai di Wanayasa. Itupun pakai feeling, karena pihak ELF tidak meneriakkan bahwa ini adalah Situ Wanayasa, dan kamipun tidak bertanya apakah ini Situ Wanayasa. Akhirnya, dengan sedikit pede, aga kedepanan dikit dari situ, kami bilang passwordnya agar kami bisa berhenti, “kiri bang”, dan ELF pun berhenti. Kami berjalan kembali sekitar 100m dari Situ, dan yang kami lihat adalah danau yang luas, bersih, dan banyak orang mancing. Antara iya dan tidak kami berjalan turun ke danau, dan bertemu dengan penjaga pintu masuk, dengan aga malu kami bertanya, “ini situ apa pak?”. Dengan mantab bapaknya bilang, Wanayasa. Terima kasih ya Allah, kami tiba ditempat yang tepat, hampir pukul 14.00.

Tiket masuknya Cuma Rp. 2.000, kalau sekedar keliling danau tidak bayar, tapi kalau masuk ke pulau di tengahnya, bayar Rp. 2.000. dari daratan ke pulau di tengahnya melewati sebuah jembatan bambu. Disamping pulau ditengah itu terlihat sedang tertambat beberapa sepeda air (buat maen sepeda di air yang bentuknya bebek-bebek an dan lain-lain, pas buat orang pacaran, berhubung kami tidak pacaran, maka kami tidak tertarik), dan rakit yang aga tenggelam. Kami tadi menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari Purwakarta, kalau rata-rata 60 km/ jam, kurang lebih karena kami 45 menit, maka jaraknya adalah 45 km. teeeeeeeet, jawaban salah. Jarak Wanayasa dari Purwakarta sekitar 23 km, berhubung jalannya yang lenggak-lenggok, maka 23 km tersebut ditempuh dengan waktu paling minim 30 menit. Danau ini luasnya sekitar 7ha, luas memang, dengan air yang alami, banyak ikannya dan suhu yang sejuk, sekitar 17 – 20 derajat celcius (katanya situs wisatapurwakarta.indonesiatravel.biz). 
 
Pulau di tengah Situ
Pulau yang ditengah-tengahnya itu, konon telah direnovasi dengan penataan rumput, dipasang kursi-kursi bambu di pinggir danau, dan eits, ada makam ditengah-tengah pulau itu. Makam siapakah gerangan? Setelah kami datangi, ternyata itu adalah makam RA. Suriawinata. Masih ingat? Yak, beliau adalah yang memindahkan ibukota Karawang dari Wanayasa ke Purwakarta sekarang. Di pulau ini ditumbuhi pohon pinus yang menandakan, bahwa ini adalah dataran tinggi, karena pinus umumnya hidup di dataran tinggi. Dan betul. Wanayasa ini berada di sekitar 600 m diatas permukaan laut.

Disekitar danau nampak mulai dibangun saung-saung, tempat makan dan peristirahatan, dengan suasana yang cukup sunyi, tenang dengan melihat air dan merasakan angin semilir, kuranglah kiranya kalau Cuma sebentar disini. Di tengah persimpangan sebetulnya, sayang kalau suasana sunyi ini diganggu oleh bisingnya pembangunan dan kalau sudah jadi akan banyak orang ramai berdatangan kesini. Namun, disisi lain, sayang kiranya, kalau tempat seindah ini hanya dapat dinikmati begini saja, perlu dibangun fasilitas lain agar orang betah disini. Situ Wanayasa merupakan kawasan wisata yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena secara geografis pariwisata, terletak di antara Tangkuban Parahu, Ciater dan danau Jatiluhur.
 
Memancing bersama
Pengembangan wisata yang mungkin dapat dilakukan, adalah rekreasi air berupa pemancingan, sepeda air, perahu dayung, restoran terapung dan sebagainya. Di lingkungan sekitarnya yang dapat dikembangkan, antara lain seperti home stay, guest house, rumah makan, taman rekerasi, usaha cinderamata, hiking, arena melukis, menggambar, horse riding, jogging, sarana out bound dan wisata pendidikan, seperti cara bertani manggis dan cara berkebun lainnya yang difokuskan kepada para pelajar atau mahasiswa. Bagaimana baiknyalah, semoga ketenangan Wanayasa tetap senantiasa terjaga. Berhubung ada satu lagi yang harus kami kejar sebelum hujan turun, maka, mau tidak mau kami harus meninggalkan Wanayasa. Sekedar informasi kawan, 3 km dari sini ada beberapa objek wisata lainnya, yaitu Curug Cipurut dan perkebunan teh (lain kali semoga sempat kesini) dan sekitar 8 km dari sini terdapat air panas Ciracas. Banyak sekali wisata alam Purwakarta ini, butuh banyak waktu untuk bisa dikejar semuanya.



Cuci muka bagi yang membutuhkan, sholat bagi yang menjalankan, minum bagi yang memerlukan, kami lakukan di tempat peristirahatan itu. Semua terbuat dari bambu. Sejuk, segar dan kami siap meneruskan perjalanan.

Waduk Jatiluhur

Pemberhentian terakhir kami rencanakan di Waduk Jatiluhur. Maka dari itu, kami harus kembali ke Purwakarta segera. Kami meninggalkan Wanayasa sekitar pukul 15.00 dengan menggunakan angkot, karena ELF yang kami tunggu tidak muncul batang hidungnya. Sedangkan angkot udah lebih 3 kali melewati kami. Akhirnya angkot itulah yang kami pilih untuk membawa kami ke Pasar Rebo. Tarifnya sama, Rp. 6.000, tapi yang membuat kami takjub, si sopir angkotnya hafal semua penumpang yang naik dan turun di mana mereka. Semacam langganan, padahal angkot Wanayasa ini tidak sedikit jumlahnya. Buktinya selama menunggu ELF kami dilewati tiga kali. Sangat ramah dan sangat unik, bapak ini naik dimana turun dimana, ibu ini naik dimana turun dimana, neng ini mau kemana semua dapat dihafal sama bapak tukang angkot...tepuk tangan kami pak atas keramahan dan cara bapak membawa angkot.

Angkot berhenti di Pasar Rebo sekitar pukul 15.30 dan kami disarankan si bapak untuk naik jalur 02 ke arah bunder, baru dari situ naik 09 ke Jatiluhur. Apakah bunder itu? kamipun tidak tahu, kami bilang ke tukang angkot yang waktu itu masih Aa-Aa (ga tau lagi sekarang, udah menjadi bapak-bapak kali...^^) mau ke Jatiluhur, dan dengan sendirinya Aa itu menghentikan kami pas di depan angkot 09 yang siap ke Jatiluhur. Dari 02 ke Bunder tarifnya Rp. 2.500 dan dari bunder ke Jatiluhur menggunakan 09, tarifnya Rp. 5.000.
Lumayan jauh juga dari bunder ke Jatiluhur, sekitar 30 menitan. Dan dengan harga segitu aga kurang wajar juga sebenarnya, tapi yasudahlah, kami terima saja dengan pasrah. Menjelang masuk ke wilayah Jatiluhur suasana seperti di Wanayasa, sejuk dan penuh pinus setelah berputar-putar, diturunkannya kami di depan Waterboom. Waow...ini waduk apa pantai...luas betul waduknya. Waktu itu sudah pukul 16.00 sepi, hanya ada kami, beberapa pengunjung, bapak-bapak yang menawarkan kapal wisata ke pulau ditengah-tengah sana yang tidak nampak karena kabut dan segerombolan orang yang awalnya kami pikir tentara atau kelompok yang sedang out bound (siapakah mereka? Nanti kami jelaskan).

Kami sedang bernafsu untuk menjelaskan tentang Jatiluhur ini. Kami kutip informasi ini dari blog hasyimibrahim.wordpress.com. di blog tersebut banyak menjelaskan mengenai data teknis bendungan Jatiluhur, yang kami belum melihatnya. Yang kami lihat adalah danaunya, waduknya, bukan bendungannya. Jika Situ Buleud memiliki luas 4 ha, Situ Wanayasa memiliki luas 9 ha, waduk Jatiluhur yang merupakan danau ini memiliki luas 8.300 ha (se per berapanya itu.....!!!). seperti lautan sudah memang, luas banget, mata kami tidak sampai untuk melihat ujungnya (karena kabut juga ^^). Bendungan ini dinamakan Waduk Ir. H. Djuanda yang dibangun sejak tahun 1957 oleh Kontraktor Perancis dengan potensi air yang tersedia sebesar 12,9 milyar m3/ tahun, dan merupakan waduk serbaguna pertama di Indonesia. Karena terletak di Kecamatan Jatiluhur, waduk ini juga biasanya dikenal dengan waduk Jatiluhur, persisnya terletak kurang lebih 9 km dari pusat kota Purwakarta. Selain menjadi waduk serbaguna pertama di Indonesia, bendungan ini juga yang terbesar di Indonesia.
Yang membuat Jatiluhur sebagai karya besar bangsa Indonesia adalah karena bendungan ini dibangun saat Indonesia baru merdeka dan belum bisa dikatakan mampu dalam segi ekonomi, namun keberadaannya sangat diharapkan, termasuk menyediakan perbekalan air untuk kapal-kapal dagang asing yang bersandar di Tanjung Priok saat itu (??? Jauh bener...). bangunan ini juga mencerminkan rasa nasionalisme tinggi para penggagasnya. Kenapa dikatakan memiliki nasionalisme tinggi, bendungan ini memiliki pompa hidrolik yang terkenal dengan paten atas nama Prof. Ir. Sediyatmo untuk saluran Tarum Barat berjumlah 17 buah, pilar pemegang pintu pengatur untuk meneruskan aliran ke daerah Walahar beserta menaranya berjumlah 8 buah, dan pembangunan pompa-pompa listrik untuk saluran Tarum Timur agar lebih efisien dan efektif dibuat miring 45 derajat. Jadilah angka keramat 17-8-45, angka kemerdekaan bangsa Indonesia...luarrrr biasaaaa...(d^^b).

Apakah harus di Jatiluhur bendungan itu di buat? Pertanyaan ini bukan pertanyaan kami, tapi pertanyaan umum yang ada di blog-blog tentang Jatiluhur, kamipun ikutan bertanya jadinya. Sebenarnya ide pembangunan waduk ini ada sejak jaman Belanda. Waktu itu Prof. Ir. WJ. Van Blommestein, selaku Kepala Perencanaan Jawatan Pengairan Belanda sudah membuat rencana pembangunan tiga waduk besar di sepanjang aliran sungai Citarum, yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Namun rencana tersebut tidak terealisasi. Pada tahun 1950, Ir. Agus Prawiranata selaku Kepala Jawatan Irigasi memikirkan pengembangan jaringan irigasi untuk mengantisipasi kecukupan beras dalam negeri, dan ide itu menjadi bahan tertawaan karena Indonesia tidak memiliki cukup uang untuk itu. Ide tersebut dibicarakan dengan Ir. Sediyatmo, selaku Kepala Direksi Konstruksi Badan Pembangkit Listrik Negara. Kemudian Ir. Sediyatmo menugaskan Ir. PK. Haryasudirja (sekarang Prof. Dr. Ir. PK. Haryasudirja) untuk merancang bendungan jatiluhur ini.

Jatiluhur dipilih karena memiliki banyak kelebihan, baik dari segi kemanan, keperluan listrik dan keperluan air lainnya. Dikatakan aman, karena pada saat pengukuran di daerah Kiara Condong, Bandung untuk rencana pembangunan bendungan di daerah paling hulu, yaitu Saguling, banyak tenaga pengukur yang tewas diserang oleh gerombolan orang tidak dikenal, begitu juga pengukuran di daerah yang lebih hilir, Cirata, hal yang sama dialami para petugas lapangan. Akhirnya Jatiluhur dipilih karena relatif aman, dan dapat dimanfaatkan untuk memberi suplai air pada bendungan Walahar yang sudah dibangun oleh Belanda untuk mengairi sawah seluas 80 ribu ha.

Haryasudirja membuat spesifikasi bendungan Jatiluhur meniru gaya bendungan terbesar di dunia, yaitu bendungan Aswan di Mesir dengan menggunakan konsultan dari Perancis yang sudah berpengalaman dalam membangun bendungan besar. Selain untuk pembangkit listrik dibangunnya Jatiluhur untuk mengairi irigasi persawahan daerah Jawa Barat seluas 240 ribu hektar. Namun kendala yang dihadapi ketika itu, harus meninggikan kembali air kucuran dari bendungan Jatiluhur bila digunakan untuk keperluan lain selain pembangkit listrik. Pasalnya Ir. P.C. Haryasudilja yang juga sebagai penentu desain dari waduk Jatiluhur, mencari tenaga yang sebesar-besarnya untuk membangkitkan turbin listrik. Listrik yang didapat memang cukup banyak, lalu bagaimana dengan air untuk pemanfaatan irigasi sawah ? Maka dibuat lagi bendung di daerah Curug. Untuk mengairi ke daerah timur terpaksa air dinaikkan dengan menggunakan pompa listrik. Namun untuk yang ke Barat, Prof.Ir. Sedyatmo telah merancang pompa yang juga menggunakan tenaga air, yang kemudian dikenal dengan nama “Pompa Sedyatmo” untuk menaikkan air ini ke saluran Tarum Barat, sepanjang 90 Km termasuk untuk air baku kota Jakarta dan sekitarnya. Integrasi. Luas daerah aliran Waduk Jatiluhur mencakup 4.500 km2. Dalam segi jaringan irigasi, tentu sangat spektakuler, membentang dari daerah Bandung sampai pantai utara pulau Jawa. 
 
Di tepi Jatiluhur
Selain berfungsi sebagai PLTA, dengan sistem limpasan terbesar di dunia, kawasan Jatiluhur memiliki banyak fasilitas rekreasi seperti hotel dan bungalow, bar dan restoran, lapangan tenis, bilyar, perkemahan, kolam renang, ruang pertemuan, sarana rekreasi dan olahraga air dan fasilitas lainnya. Di dalam waduk ini juga terdapat budidaya ikan keramba jaring apung, yang memungkinkan kita untuk memancing di waktu siang maupun malam. Selain itu, dikawasan ini terdapat Stasiun Satelit Bumi yang dikelola PT. Indosat sebagai alat komunikasi internasional. Pokoknya lengkap, termasuk pusat Training Center atlit nasional dayung dan dragon boat Indonesia. Kok tau?? Nah, para gerombolan yang kami pikir tentara tadi adalah para atlit ini, dengan badan yang super tegap (karena kebanyakan dayung) mereka melakukan pemusaatan latihan di sini. Dan hasilnya apa? 3 medali emas di Asian Games mereka raih...tepuk tangaaaan...^^

Awalnya cukup tenang disini, kami bisa duduk-duduk santai di tepi dermaga sambil melihat riak-riak air ke tepian, sampai akhirnya serombongan orang yang ternyata atlit nasional membawa perlengkapan mereka masing-masing. Ketenangan kami terusik, dan karena sudah waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 maka saatnya kami berpisah...mungkin kalau kesininya aga siangan kondisinya akan lebih ramai, tapi beruntung kami kesana sorean, jadi sangat tepat untuk berkontemplasi...^^

Perjalanan Pulang

DPRD Purwakarta
Sama seperti halnya waktu kami berangkat ke Jatiluhur, waktu pulangnya kami naik 09 ke Ciganea, tarifnyapun sama, Cuma kali ini aga lama kami menunggu. Kami tanya kepada ibu-ibu yang sepertinya juga sedang menunggu angkot, katanya jangan kuatir dek, masih banyak angkotnya..baiklah. Kami sampai di titik nol saat kami berangkat tadi hampir pukul 17.00 dan kami masih sempat untuk check point karena seharian ini kami belum makan, kecuali rujak buah di sekitar pendopo Kabupaten yang lupa kami ceritakan. Apa menu check point kami, tidak lain tidak bukan adalah mi instan. Untuk harga masih murah dibandingkan Bandung, rujak tadi siang sekitar Rp. 4.000 padahal kalau di Bandung bisa Rp. 7.000 – Rp. 8.000 dan es buahnya dengan isi yang kumplit Cuma Rp. 4.000 juga, perbandingan di Bandung bisa Rp. 10.000.

Sebelum kami pulang ke Bandung, kami sempat mampir ke gedung DPRD, tidak untuk ngapa-ngapain, Cuma sekedar ambil foto karena bangunannya bagus. Menurut bapak Satpol PP, ini bangunan baru dan dulu bekas terminal, mungkin maksudnya, dulu ini adalah terminal kemudian dibongkar menjadi gedung DPRD. Dan maaf pak, kami kurang percaya..^^, bangunan ini memiliki arsitetur kolonial lo, masa baru...kecuali dibangun dengan gaya kolonial...ya siapa tau...berhubung bapaknya adalah pegawai disitu, mau tak mau kami manggut-manggut aja, walaupun kami jujur kurang percaya. (kenapa tidak cari diinternet saja?? Iyya juga ya...nanti deh..^^).

Kami lepas landas dari Purwakarta pukul 17.30 an, meluncur dengan menggunakan armada yang sama saat kami berangkat, ongkosnyapun sama, Cuma penumpangnya yang berbeda, kali ini banyak para pemancing yang pulang memancing, lebih dari 10 orang naik bersamaan, membuat bapak kondektur tersenyum senang...^^

Kami sampai di Leuwi Panjang pukul 7 malam an, untung kami sudah menguasai jurus ketinggalan DAMRI, maka kamipun ke Kebon Kalapa dulu baru ke Dago dan kemudian ke Dipati Ukur. Untuk hal ini mungkin kawan-kawan sudah fasih, biar lebih jelas silahkan tengok kembali “Perjalanan Pulang” kami episode “BOGOR”. Kami tiba dengan selamat pukul setengah sembilan malam dan langsung pulang dan tak perlu kami ceritakan selanjutnya kami ngapain...^^
Untuk biaya perjalanan kali ini menghabiskan dana dengan rincian sebagai berikut:
  1. DAMRI, Rp. 2.000
  2. Bandung – Purwakarta PP, Rp. 30.000
  3. Angkot Ciganea – Buleud, Rp. 2.500
  4. Pasar Rebo – Wanayasa PP, Rp. 12.000
  5. Tiket Wanayasa, Rp. 2.000
  6. Pasar Rebo – Bunder, Rp. 2.500
  7. Bunder – Jatiluhur PP, Rp. 10.000
  8. Angkot Leuwi Panjang – Kalapa, Rp. 2.000
  9. Angkot Kalapa – Dago, Rp. 3.000
  10. Angkot Dago – DU, Rp. 1.000
  11. Check Point, Rp. 8000
Total pengeluaran perjalanan Bandung – Purwakarta PP, Rp. 75.000. Harga yang sebanding dengan pengalaman, suasana dan nuansa yang tak ternilai harganya.
Perjalanan ini kami laporkan di pertengahan Desember, dan masih gelap bagi kami, apakah di sisa tahun ini bisa melakukan perjalanan lagi, atau kita harus bertemu lagi tahun depan...
Together We Walk

By: Te.

Indonesia Barat